IMPLEMENTASI PARADIGMA PENGETAHUAN THOMAS KHUN DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN TENTANG WARISAN DARI ZAMAN KLASIK SAMPAI DENGAN NALAR KRITIS
Abstract
Pandangan Thomas Kuhn tentang paradigma sering digunakan sebagai suatu contoh praktik ilmiah yang aktual dan bisa diterima dari kalangan ilmu baik itu berupa hukum, teori, aplikasi, dan instrumen sehingga menjadi suatu sumber yang sering digunakan dalam kajian ilmiah. Paradigma dalam suatu kajian tafsir sering digunakan oleh seorang mufassir baik itu secara sadar maupun tidak sadar disebabkan karena latar belakang seorang mufassir yang berbeda-beda sehingga melahirkan berbagai macam corak penafsiran diantaranya penafsiran dari abad klasik, pertengahan dan kontemporer. Dari perkembangan paradigma penafsiran tersebut tidak hannya berhenti sampai disitu saja, melainkan akan terus berkambang sesuai dengan zaman dan lingkungan karena al Qur`an di pandang sebagai suatu kitab yang sempurna dan mencakup semua persoalan yang ada di tengah masyarakat dalam pandangan Khun disebut dengan revolusi ilmu baru. Hal ini juga disebabkan karena al Qur`an sangat terbuka untuk ditafsirkan dan dikaji baik itu dari segi bahasanya, ayat-ayatnya karena setiap ayat yang ada di dalamnya mengadung makna yang sangat luas dan berbeda-beda. Dalam istilah Ulum al-Qur`an disebut dengan “al Qur`an shalihun li kulli zaman wa mak?n”. Adapun Jenis penelitian ini menggunakan penelitian library research atau penelitian pustaka, dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik itu berupa literatur berbahasa Arab, maupun literatur berbahasa Indonesia yang mempunyai relevansi dengan tema pembahasan tentang warisan. Maka dalam tulisan ini penulis ingin membahas tentang pergeseran penafsiran al-Qur`an surah an-Nisa ayat 11 tentang warisan mulai dari tafsir klasik, modern, kontemporer dan sampai dengan nalar kritis, dimana penafsiran klasik dan modern (abad pertengahan) mengatakan bahwa bagian antara laki-laki dan wanita ialah dua bagian laki-laki sama dengan satu bagian perempuan, namun dalam hal ini berbeda dengan pendapat dari penafsiran nalar kritis yang mengatakan bahwasannya bagian antara laki-laki dan perempuan harus disamakan tanpa ada perbedaan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Thomas Khun yang mengatakan bahwa pergeseran makna dalam sebuah teks merupakan hal yang sangat lumrah terjadi sesuai dengan paradigma pengetahuan penafsir bahkan akan terus berkembang tanpa batas sesuai dengan zamannya.